10 Maestor Gamelan
Gending
gamelan sudah berkumandang selama lebih dari seribu tahun. Tidak hanya di tanah
Indonesia, gending gamelan juga bergema sampai ke berbagai penjuru dunia.
Diaspora gamelan sampai menyebrangi benua, bahkan semesta raya, tentu tak
terjadi begitu saja. Mungkin sudah ada ratusan empu yang turut andil
menyebarkan budaya karawitan Jawa, termasuk gamelan.
Untuk
itu, mari berkenalan dengan 10 maestro gamelan yang sudah menyumbangkan warisan
karya serta pemikirannya demi pemajuan budaya karawitan Jawa.
Ki
Tjakrawarsita
Ki
Tjakrawarsita adalah sosok di balik gending yang mengangkasa. Dialah empu yang
mereka ulang Gending Ketawang Puspawarna karya Mangkunegara IV yang disertakan
NASA dalam kapal nirawak Voyager pada 1977.
Tidak
hanya itu, Tjakrawarsita juga merupakan orang pertama yang mengajarkan ilmu
kepengrawitan ke masyarakat global dalam lawatannya ke California di era
1970-an. Demi mengenang jasa Ki Tjakrawarsita, salah satu muridnya, bernama Lou
Harrison, yang juga seorang komposer kenamaan Amerika bahkan mendedikasikan
sebuah komposisi untuknya dan menamai sebuah bintang baru di rasi Andromeda
dengan nama Warsitadiningrat.
Elizar
Koto
Elizar
Koto dikenal sebagai seorang komposer Sumatera Barat yang cukup produktif. Tak
sekadar produktif, Elizar Koto juga termasuk maestro yang senang bereksperimen
dengan garapan musiknya. Mulai dari musik tradisi dan sufi hinga
elektro-akustik sudah pernah ia garap. Oleh karena itu, karya komposisinya
dikelompokkan ke dalam jenis “musik baru” di Indonesia.
Tak
berhenti bereksperimen, maestro yang satu ini pun dikenal kerap menciptakan
alat musiknya sendiri. Salah satu alat musik hasil inovasinya ialah “Koneu
Koneu” yaitu sejenis alat musik yang menggunakan dawai bisa diregang untuk
menghasilkan bunyi gema tertentu. Penamaan Koneu Koneu merupakan sebuah
onomatope, kata yang menirukan bunyi-bunyi dari sumber yang digambarkan.
Ki
Martapangrawit
Ki
Martapangrawit adalah orang pertama dari kalangan praktisi karawitan Jawa yang
mempelopori gagasan untuk memajukan ilmu karawitan melalui konsep-konsep
teoretis. Ia semakin menunjukkan tajinya sebagai pemikir karawitan saat ia
didaulat menjadi salah satu pengajarnya di Konservatori Karawitan Indonesia
yang berdiri pada 27 Agustus 1950.
Salah
satu peninggalannya karawitan ialah rumusan teknik permainan rebab dengan model
tata letak jari yang masih digunakan hingga saat ini. Ia juga menyelamatkan
manuskrip yang ditulis oleh para empu pendahulunya dan kemudian menuliskan
ulang dalam bentuk notasi di era 1950-an. Pun menyelamatkan permainan gamelan
pakurmatan dengan mengarjarkannya kepada generasi muda.
Rahayu
Supanggah
Menjadi
maestro karawitan mungkin bukan mimpi seorang Rahayu Supanggah ketika masih
bocah. Ia memulai kariernya sebagai pengrawit ketika bersekolah di Konservatori
Karawitan (KOKAR). Di sana ia ditunjuk oleh Ki Martapangrawit untuk memegang
ricikan ngarep dalam karawitan. Sejak itulah kecintaannya pada seni karawitan
kian tumbuh.
Sebagai
komponis ulung tentu Supanggah juga telah menelurkan banyak karya penting bagi
seni karawitan. Tak kurang, ia telah menggubah lebih dari 100 komposisi
sepanjang kariernya. Termasuk di antaranya komposisi musik untuk Opera Jawa
(2006) arahan Garin Nugraha yang membuatnya menyabet penghargaan Best Composer
pada ajang Asian Film Award 2007. Sejak itu, ia adalah seniman tetap di
Southbank Centre asal London yang juga akan turut meramaikan gelaran
International Gamelan Festival 2018: Homecoming Gamelan.
Mang
Koko
Mang
Koko memulai kariernya di dunia musik dengan membentuk grup musik humor Sunda,
Kanca Indihiang. Bersama kelompoknya dia menciptakan lagu: Gotong royong, Ronda
Malem, Rebut Bandung, PBH, Resepsi, Badminton, Pangwangunan, dan Maen Bal. Dia
juga membuat lagu-lagu kawih khusus muda-mudi dan lagu khusus anak. Lagu-lagu
tersebut dikumpulkan dalam tiga jilid buku yang diberi judul Cangkurileung dan
diterbitkan tahun 1954.
Koko
juga sosok yang nasionalis, terbukti dengan karya-karyanya yang bertema tentang
kebangsaan dan perjungan di antaranya: Cinta Nusa, Padusunan Bandung, Situ
Aksan, Lingkung Lembur, Pahlawan, Sabilulungan, Irian, Irian Dayeuh nu Kula,
Rampak Karya, Karatagan Pamuda Indonesia, dan Baju Hejo.
Lili
Suparli
Suparli
memulai debutnya sebagai seniman ketika masuk Konservatori Karawitan (KOKAR)
Bandung pada 1984. Ia terutama dikenal karena kepiawaiannya dalam bermain rebab
dan kendang. Suparli cukup produkstif sebagai kreator musik, penulis buku,
serta akademisi karawitan Sunda. Karya musiknya bertebaran baik itu karya
mandiri, musik teater, musik tari, dan musik wayang golek. Kiprahnya sebagai
seniman cukup berpengaruh dalam memberikan stimulan kepada seniman muda di
tanah Pasundan. Dia juga bnyak melahirkan pandangan ilmiahnya melalui buku yang
hingga kini menjadi pegangan dalam wilayah keilmuan karawitan Sunda.
Sunardi
Sunardi
merupakan salah satu bukti konsistensi di jagad seni tradisi karawitan dan tari
Jawa. Lakunya sebagai seniman juga dibarengi dengan semangat mendidik tanpa
lelah. Ia menjaga api seni karawitan tidak hanya dengan berkarya, tetapi juga
dengan mengaryakan seniman-seniman muda dan memastikan terjadi regenerasi
pengrawit. Ia mulai mengajar pada 1977 di SMKI Yogyakarta sampai kini menjadi
kepala sekolah di sana.
Sebagai
guru dan seniman, Sunardi telah menjajal berbagai bidang keahlian. Ia adalah
penari sekaligus dalang. Ia juga seorang penggendang dan penembang. Ia menata
gerak tari dan gending iringannya. Pun ia menyusun naskah untuk pentas wayang
orang, wayang kulit, dan drama tari. Namun, yang paling penting, ia adalah
seorang pengajar yang tak henti berkarya dan mengaryakan murid-muridnya demi
keberlangsungan ekosistem gamelan seni karawitan.
Ki
Nartasabda
Ki
Nartasabda merupakan satu-satunya tokoh karawitan yang memiliki kedekatan
dengan industri rekaman. Bukan karena urusan perut semata, tapi juga untuk
membantu persebaran karawitan Jawa khususnya gaya Surakarta.
Empu
yang satu ini memang dikenal memiliki cara pandang yang tak biasa terhadap
musik karawitan. Karya-karyanya menawarkan paradigma kreativitas yang berbeda
dibandingkan tokoh karawitan yang lain. Ia kerap bereksperimen dengan gending
klasik gaya Surakarta yang halus dan membuatnya jadi lebih segar. Alhasil,
pendekatan tersebut membuat karya-karya Ki Nartasabda memiliki nilai komersial.
Hal itulah yang membuat karya-karyanya menjamur melalui pertunjukan wayang,
kaset-kaset, sampai ke panggung-panggung hajatan.
I
Wayan Sarda
I
Wayan Sadra merupakan maestro dengan gairah mencipta yang tinggi. Sepanjang
hidupnya ia telah menciptakan 17 karya yang terdiri dari komposisi musik dan
musik iringan teater. Karya-karya tersebut ia pentaskan di berbagai belahan
dunia. Mulai dari Jepang, Spanyol, Amerika Serikat, dan banyak lagi. Meski
telah melanglang buana ke berbagai negara, maestro yang satu ini tetap
melakukan pementasan terakhirnya di Indonesia. Termasuk mementaskan karya
komposisi musik Bayu dan Enerji pada Festival Seni Surabaya 2006 dan pentas
kolaborasi dengan kelompok Jazz Mazzola Duo dari Swiss di candi Prambanan
sebelum ia menutup usia pada 2011 silam.
Ia
juga merupakan orang Indonesia pertama yang meraih penghargaan bergengsi New
Horizons Award dari International Society for Art, Sciences and Technology di
Berkeley California pada tahun 1991.
Bambang
Sukmo Pribadi
Di
kalangan seniman karawitan Jawa, Bambang Sukmo Pribadi dikenal sebagai seorang
penggendang yang mumpuni. Keunikannya memainkan kendang terletak pada
kejernihan bunyi pukulan, ambitus bunyi yang menghentak, pandai membawa irama,
jelas dan tidak terkesan ribet (cetho). Kendangan Bambang dianggap sebagai satu
rangkaian bunyi yang jelas dan tidak ribet untuk detail-detail pola yang
dimunculkan secara musikal. Selain khas dengan permainan gendangnya, maestro
yang satu ini juga berusaha untuk merumuskan pilar-pilar yang menjadi identitas
keilmuan karawitan Jawatimuran.
No comments:
Post a Comment