Follow Us @gamelansp4

Followers

Monday, December 30, 2019

Gamelan keraton yogyakarta

December 30, 2019 0 Comments
 Mengenal Gamelan Keraton Yogyakarta 

 Kanjeng Kiai Nagawilaga digunakan pada perayaan Sekaten






Keraton Yogyakarta memiliki berbagai benda pusaka, salah satunya berupa alat musik gamelan. Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa, yang memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem tangga nada slendro dan pelog. Masyarakat Jawa menyebut gamelan sebagai gangsa yang merupakan jarwa dhosok (akronim) dari tiga sedasa (tiga dan sepuluh). Tiga sedasa merujuk pada elemen pembuat gamelan berupa perpaduan tiga bagian tembaga dan sepuluh bagian timah. Perpaduan tersebut menghasilkan perunggu, yang dianggap sebagai bahan baku terbaik untuk membuat gamelan.



Instrumen yang dimainkan dalam seperangkat gamelan antara lain kendang, bonang, panerus, gender, dan gambang. Selain itu ada suling, siter, clempung, slenthem, demung, dan saron. Juga tidak ketinggalan gong, kenong, kethuk, japan, kempyang, kempul, dan peking.



Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 21 perangkat gamelan yang dikelompokkan menjadi dua, yakni Gangsa Pakurmatan dan Gangsa Ageng.




Gangsa Pakurmatan

 



Gangsa Pakurmatan dimainkan untuk mengiringi Hajad Dalem atau upacara adat keraton. Gangsa Pakurmatan terdiri dari Kanjeng Kiai Guntur Laut, Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, Kanjeng Kiai Guntur Madu, Kanjeng Kiai Nagawilaga, dan Gangsa Carabalen.



Kanjeng Kiai Guntur Laut atau disebut juga Gangsa Monggang hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang penting seperti Jumenengan (upacara penobatan) Sultan, menyambut tamu yang sangat terhormat di keraton, pernikahan kerajaan, dan Garebeg.



Kanjeng Kiai Kebo Ganggang atau disebut pula Gamelan Kodhok Ngorek biasa dimainkan bersama Kanjeng Kiai Guntur Laut. Seperti pada Jumenengan Sultan dan Garebeg.



Kanjeng Kiai Sekati yang terdiri dari dua perangkat yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga. Gamelan Sekati khusus dimainkan pada perayaan Sekaten.



Gangsa Carabalen pada masa lalu berfungsi antara lain untuk menyambut kedatangan tamu keraton, mengiringi latihan baris-berbaris prajurit putri, dan Garebeg.





Gangsa Ageng 

 



Berbeda dengan Gangsa Pakurmatan, Gangsa Ageng dimainkan sebagai pengiring pergelaran seni budaya keraton. Selain itu, Gangsa Ageng memiliki instrumen lebih lengkap dibanding Gangsa Pakurmatan. Gangsa Ageng yang dimiliki Keraton Yogyakarta antara lain;



Kanjeng Kiai Surak, merupakan gamelan yang dibawa oleh Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) saat masih berperang melawan VOC. Saat itu, gamelan ini dimainkan untuk menggugah semangat juang para prajurit. Saat kesultanan telah berdiri, gamelan berlaras slendro ini dimainkan untuk mengiringi Ngabekten dan adu banteng melawan macan.



Kanjeng Kiai Kancil Belik, dibawa dari Kasunanan Surakarta setelah perjanjian Giyanti. Gamelan yang berlaras pelog ini ditabuh untuk mengiring kedatangan Sultan pada upacara Ngabekten, mengiringi Krama Dalem (pernikahan Sultan), dan Supitan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota).



Kanjeng Kiai Guntur Sari, merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Gamelan berlaras pelog ini digunakan untuk mengiringi tari Beksan Trunajaya, Hajad Dalem Supitan dan Tetesan, dan Prajurit Langenastra saat Garebeg Mulud. Karena larasnya hampir sama dengan Gangsa Sekati, gamelan ini juga digunakan untuk latihan acara Sekaten.



Kanjeng Kiai Marikangen merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono III. Pada masa lalu gamelan berlaras slendro ini digunakan untuk mengiringi prajurit putri Langenkusuma menuju alun-alun untuk berlatih perang. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan Sri Sultan Hamengku Buwono VII digunakan untuk mengiringi tari Bedhaya, Wayang Wong (ringgit tiyang), dan wayang kulit (ringgit wacucal).



Kanjeng Kiai Panji dan Kanjeng Kiai Pusparana merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono V. Kanjeng Kiai Panji berlaras pelog dan Kanjeng Kiai Pusparana berlaras slendro.



Kanjeng Kiai Madukintir dan Kanjeng Kiai Siratmadu, merupakan peninggalan masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Keduanya dibuat atas prakarsa Pangeran Purubaya, yang kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, pada tahun 1901. Kanjeng Kiai Madukintir berlaras slendro sedang Kanjeng Kiai Siratmadu berlaras pelog, keduanya digunakan untuk mengiringi Wayang Wong, beksan (pertunjukan tari), dan uyon-uyon (karawitan).



Kanjeng Kiai Medharsih dan Kanjeng Kiai Mikatsih merupakan peninggalan masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII, kemungkinan beliau dapatkan ketika masih menjadi putra mahkota. Kanjeng Kiai Medharsih memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Mikatsih memiliki laras pelog. Keduanya digunakan untuk mengiringi beksan, uyon-uyon, dan semacamnya.



Kanjeng Kiai Harjanagara dan Kanjeng Kiai Harjamulya merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Kanjeng Kiai Harjanegara memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Harjamulya memiliki laras pelog. Keduanya digunakan untuk mengiringi Wayang Wong dan uyon-uyon.



Kanjeng Kiai Madumurti dan Kanjeng Kiai Madu Kusumo merupakan pemberian Li Jing Kim kepada Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tahun 1930. Li Jing Kim merupakan seorang warga Yogyakarta keturunan Cina yang sangat mencintai budaya Jawa. Kanjeng Kiai Madumurti memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Madukusuma memiliki laras pelog. Keduanya digunakan untuk mengiringi Wayang Wong dan uyon-uyon.



Kanjeng Kiai Sangumulya dan Kanjeng Kiai Sangumukti dibuat pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tahun 1998. Kanjeng Kiai Sangumulya berlaras pelog sedang Kanjeng Kiai Sangumukti berlaras slendro. Keduanya digunakan untuk mengiringi beksan, wayang kulit, wayang golek, dan uyon-uyon. Nama kedua gamelan tersebut berasal dari pertanyaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada putranya yang kemudian naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono X, manakah yang ia inginkan, hidup mukti atau hidup mulya.



Kecuali Kanjeng Kiai Kancil Belik dan Kanjeng Kiai Surak, penempatan Gangsa Ageng dirotasi tiap beberapa tahun untuk memastikan semuanya diperhatikan dan dirawat dengan baik. Sedang Kanjeng Kiai Kancil Belik selalu diletakkan di Gedhong Gangsa Lor, dan Kanjeng Kiai Surak, karena lebih tua, diletakkan di Gedhong Gangsa Kidul. Kedua Gedhong Gangsa tersebut berada di Plataran Kedhaton, berhadapan dengan Bangsal Kencana.








Tiap hari Jumat, salah satu dari gamelan ini akan dibersihkan dan diperiksa secara bergilir oleh Abdi Dalem Kanca Gendhing. Apabila ditemukan kerusakan, maka perbaikan segera dilakukan. Sedang gamelan yang tidak dapat diperbaiki kembali, akan dilebur untuk kemudian dibuat menjadi baru kembali tanpa mengubah unsur logam pembuatnya.



Hingga saat ini, di tengah perkembangan alat-alat musik modern, gamelan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari Keraton Yogyakarta. Perpaduan sempurna antara denting lembut dan dentum megah yang dihasilkan oleh logam perunggu bermutu prima itu selalu menjiwai setiap upacara kerajaan dan memberi warna pada setiap pergelaran seni budaya di Keraton Yogyakarta. 

Gamelan Sunda

December 30, 2019 0 Comments
Gamelan Sunda
Jika gamelan Jawa memiliki nada yang merdu dengan tempo yang lebih lambat dan gamelan Bali cenderung rancak maka berbeda dengan gamelan Sunda. Suara yang lebih mendayu-dayu dengan suara suling dan rebab terdengar lebih mendominasi dari gamelan ini.
Dalam naskah Sang Hyang Siksa Kanda Ng Karesian, kesenian gamelan diperkirakan masuk pada abad XVI. Dalam naskah ini dijelaskan saat itu ada pemain gamelan yang disebut kumbang gending dan ahli karawitan yang disebut Paraguna.
Pada awalnya, gamelan Sunda hanya terdiri atas bonang, saron panjang, jenglong, dan gong. Kemudian seiring perkembangan waktu, terjadi penambahan-penambahan waditra sesuai dengan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang, suling, dan rebab.
Di Tanah Sunda sendiri terdapat tiga jenis gamelan antara lain, gamelan renteng, gamelan salendro atau pelog, dan gamelan ketuk tilu. Gamelan salendro biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari-tarian, serta kliningan. Karena seringnya digunakan dalam kesenian, gamelan salendro juga menjadi gamelan yang poluler diantara jenis gamelan yang lain.
Kedua adalah gamelan renteng. Gamelan ini berkembang di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan sunda yang sekarang berkembang bermula dari gamelan renteng.
Terakhir adalah gamelan ketuk tilu. Gamelan ini biasanya dipakai untuk mengiringi kesenian ketuk tilu, ronggeng gunung, ronggeng ketuk, doger, dan topeng banjet.
Gamelan sendiri di Tanah Sunda memiliki cerita sejarah yang panjang. Dahulu, Bupati Cianjur, RT Wiranatakusumah yang menjabat dari tahun 1912-1920 sempat melarang permainan gamelan yang disertai dengan nyanyian. Pelarangan ini kerena menurutnya membuat suasana menjadi kurang khidmat.
Barulah setelah diangkat menjadi bupati Bandung di tahun 1920, beliau membawa seluruh gamelan berikut para pemainnya dari pendopo Cianjur menuju pendopo Bandung.
Gamelan bernama Pamagersari ini kemudian pada satu kesempatan memukau saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, bernama  Anang Thayib. Ia lalu tertarik menggunakannya dalam acara hajatan dan memohon ijin pada Bupati sekaligus sahabatnya itu. Sejak saat itulah gamelan digunakan untuk perhelatan umum.
Gamelan merupakan kesenian adiluhung yang dimiliki nusantara. Kesenian musik intrumentalia ini tidak hanya berkembang pada masyarakat Jawa dan Bali saja, melainkan juga pada masyarakat Sunda. Jika di Jawa suara gamelan cenderung bertempo lambat, dan di bali lebih terdengar rancak dan bertempo tinggi, lain halnya dengan pada masyarakat Sunda.

Pada masyarakat Sunda, suara gamelan cenderung mendayu-dayu dengan tambahan beberapa alat musik khas Sunda, seperti rebab dan suling. Gamelan Sunda pada awalnya hanya dimainkan secara instrumentalia, dalam artian tidak dilengkapi dengan suara nyanyian. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga cita rasa sakral dari suara gamelan yang dimainkan. Meski demikian, berdasarkan perkembangannya gamelan Sunda kini dilengkapi dengan vokalia yang liriknya berisi ajaran-ajaran moral dalam bahasa Sunda.

Tidak jauh berbeda dengan satu set gamelan pada umumnya, gamelan sunda terdiri dari perpaduan beberapa alat musik. Alat musik tersebut antara lain, kempul, gong, bonang, kenong, gambang, saron, kendang, dan tambahan rebab serta suling yang tidak ada pada gamelan Jawa dan Bali. Untuk menambah harmonisasi suara, gamelan Sunda dilengkapi dengan melodi yang keluar dari alat musik Calempung. Kini masyarakat Sunda Bogor kerap mengkolaborasikan musik gamelan dengan alat musik modern lainnya, bahkan musik gamelan juga digunakan untuk mengiringi kesenian tradisional sunda lainnya, seperti longer dan tembang sunda.

Dalam berbagai perhelatan adat, seperti dalam Seren Taun, Mapag Sri, dan kegiatan adat lainnya, gamelan sunda kerap menjadi salah satu kesenian tradisional yang dipentaskan. Mengingat gamelan Sunda makin jarang dimainkan oleh generasi penerus, berbagai pihak yang peduli pada kesenian tradisional Sunda mencoba melestarikan kembali kesenian adiluhung ini agar tetap terjaga dan lestari. Untuk mencapai hal tersebut, cara yang digunakan tak lain adalah denga terus memainkannya, sambil mengajak generasi muda untuk tertarik dengan kesenian adiluhung yang satu ini.

Kampung Budaya Sindang Barang Bogor merupakan salah satu komunitas yang peduli dengan gamelan sunda, dan seluruh kebudayaan Sunda pada umumnya. Hal tersebut terbukti, dalam berbagai perhelatan budaya yang digelar di kampung tesebut, gamelan Sunda kerap menjadi salah satu kesenian tradisional yang dipentaskan. Meski begitu, pelestarian kesenian gamelan Sunda bukan hanya menjadi tanggung jawab mereka, melainkan tanggang jawab semua orang yang merasa memiliki kebudayaan tersebut, serta menjadi tanggung jawab kita besama sebagai bangsa Indonesia.

Gamelan degung sunda

December 30, 2019 0 Comments

Gamelan Degung Sunda
Selain di Jawa, Bali, Madura dan Lombok, ada lagi seperangkat gamelan di Indonesia yang lahir di Tatar Pasundan. Gamelan ini menjadi ciri khas dan merupakan hasil kreativitas masyarakat Sunda yang biasa disebut Gamelan Degung.
Gamelan sendiri merupakan sekelompok waditra yang sebagian besar alatnya dibunyikan dengan cara dipukul. Sebenarnya di Tanah Pasundan (Jawa Barat), setidaknya pernah ada dan terus berkembang beberapa jenis gamelan termasuk Salendro, Pelog dan Degung.
Gamelan Slendro dan Pelog lebih difungsikan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Diantara keduanya, Pelog adalah gamelan yang kurang berkembang dan jarang dimiliki oleh kelompok kesenian di masyarakat. Selebihnya ada juga beberapa gamelan lain seperti Gamelan Ajeng berlaras salendro di Bogor dan Gamelan Koromong yang dianggap punya nilai mistis. Ada juga Gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat di Bandung.
Sementara itu, melihat interval dan bentuk dari Gamelan Renteng, ada pendapat yang mengatakan bahwa kemungkinan besar Gamelan Degung yang berkembang saat ini berorientasi pada gamelan tersebut.


Pengertian Istilah Degung 
Istilah Degung, sejauh ini mewakili dua pengertian yakni sebagai nama dari seperangkat gamelan dan sebagai nama laras bagian dari laras salendro. Kedua pengertian tersebut tentu berbeda. Secara teori, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: (mi) 2 – (la) 5) dan degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti). 
Jika dihubungkan dengan Kirata Basa, istilah degung berangkat dari kata “ngadeg” yang berarti berdiri dan “agung” berarti megah atau “pengagung” yang berarti bangsawan (menak). Jika merujuk pada teori tersebut, kesenian degung ini digunakan bagi kemegahan atau keagungan martabat kaum bangsawan.
Menurut E. Sutisna yang merupakan salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulunya hanya dimiliki pleh para pengagung atau bupati.

Adapun jika merujuk pada kamus dari H.J Oosting, literatur istilah “Degung” pertama kali muncul pada tahun 1979. Dalam kamus tersebut didapati istilah bahasa Belanda “De Gong” yang berarti “penclon-penclon yang digantung”.

Sementara itu, ada pendapat lain yang mengatakan istilah Degung berasal dari kalimat “Deg ngadeg ka nu Agung” yang dimaknai bahwa kita harus senantiasa beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Seperti diketahui bahwa dalam bahasa Sunda banyak ditemukan kata-kata yang berakhiran “gung” yang lebih mewakili sebuah kedudukan tinggi dan terhormat misalnya Panggung, Agung, Tumenggung dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan Degung, bisa dimaknai sebagai sesuatu yang agung dan terhormat oleh masyarakat Sunda.


 Sejarah Gamelan Degung

Ketika dimaknai sebagai perwakilan dari seperangkat gamelan, Degung diperkirakan telah berkembang sejak kisaran akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19.

Saat ini gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda ini telah berkembang dengan pesat. Adalah Jaap Kunst yang telah mendata semua gamelan di Pulau Jawa dalam bukunya yang berjudul Toonkunst van Java (1934).

Ketika merujuk pada buku tersebut diatas, Gamelan Degung setidaknya telah tersebar di beberapa tempat di Jawa Barat. Tercatat 5 perangkat ada di Bandung dan 3 perangkat ada di Sumedang. Sementara itu, masing-masing 1 perangkat ada di Cianjur, Ciamis, Kasepuhan, Kanoman, Darmaraja, Banjar dan Singaparna.

Latar belakang masyarakat Sunda yang berupa kerajaan di hulu sungai seperti kerajaan Galuh turut memberi warna tersendiri yang mempengaruhi kesenian Degung.

Pengaruh tersebut bisa dilihat terutama pada lagu-lagunya yang banyak diwarnai oleh kondisi sungai, diantaranya lagu Manitin, Galatik Manggut, Kintel Buluk dan Sang Bango.

Disamping itu Tradisi Marak Lauk dalam masyarakat Sunda juga selalu diiringi dengan Gamelan Renteng yang kemudian berkembang ke Gamelan Degung.

Gamelan Degung yang usianya cukup tua, selain ada di keraton Kasepuhan juga ada di Sumedang yakni Gamelan Degung Pangasih yang ada di Museum Prabu Geusan Ulun. Dikatakan bahwa gamelan tersebut adalah peninggalan bupati Sumedang 1791-1828 yakni Pangeran Kusumadinata atau Pangeran Kornel.


Perkembangan Gamelan Degung

Dalam perkembangannya, Gamelan Degung juga mengalami beberapa perubahan termasuk cara penyajiannya. Pada masa bupati Cianjur yakni RT. Wiranatakusumah (1912-1920), Degung lebih disajikan secara gendingan saja tanpa nyanyian karena hanya akan membuat suasana menjadi rucah (kurang serius).

Pada tahun 1920, bupati Cianjur tersebut pindah menjadi bupati Bandung. Membawa serta perangkat gamelan dan nayaganya dan sejak saat itulah Gamelan Degung bernama Pamagersari tersebut menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.

Adalah Anang Thayib, saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang yang sangat menyukai keindahan alunan degung. Dia adalah sahabat sang bupati yang mengajukan permohonan untuk diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya dan diijinkan.

Sejak saat itu degung digunakan dalam perhelatan umum. Oleh karena banyaknya permintaan, bupati pun memerintahkan membuat Gamelan Degung yang baru dengan nama Purbasasaka yang dipimpin oleh Oyo.

Pada awalnya, waditra Gamelan Degung hanya terdiri dari koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah.

Selanjutnya penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi.

Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan.

Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung.

Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.

Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat.

Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya.

Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa.

Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.

Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog.

Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).

Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab.

Kelengkapan tersebut untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan Degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan.

Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb.

Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi.

Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.

Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah.

Ada juga degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas.

Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri.

Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986).

Lagu Kalangkang tersebut lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.

Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) di mana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita.

Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.

Perkembangan Gamelan Degung tidak hanya di Indonesia saja, namun juga di luar negeri. Di luar Indonesia, degung dikembangkan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi. Diantaranya adalah Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US). Selain itu, ada juga Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang sering kali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-festival.


Perangkat Gamelan Degung & Fungsinya
Setiap perangkat dalam Gamelan Degung difungsikan sesuai dengan bentuk lagu yang dibawakannya. Dalam hal ini, terdapat dua kategori besar untuk bentuk lagu dalam degung yakni Kemprangan dan Gumekan.
Lagu Kemprangan sama dengan Rerenggongan pada Gamelan Salendro dan biasanya lagu yang dibawakan berirama satu wilet atau keringan.
Sementara itu, Gumekan adalah tabuhan dengan fungsi yang jauh berbeda dengan gending-gending lain, terutama pada pembawa melodi.
  • Bonang : Terdiri dari 14 penclon dalam ancak dan berderet mulai dari nada mi alit sampai nada la ageng. Dalam Kemprangan berfungsi sebagai lilitan balunganing gending, dalam Gumekan berfungsi sebagai pembawa melodi.
  • Saron atau Cempres : Terdiri dari 14 wilah dan berderet dari nada mi alit hingga la rendah. Baik dalam Kemprangan maupun Gumekan difungsikan sebagai lilitan melodi.
  • Jengglong : Sebanyak enam buah. Ada yang digantung, ada pula yang disimpan seperti kenong pada Gamelan Pelog. Umumnya difungsikan sebagai balunganing gending.
  • Suling : Umumnya yang digunakan adalah seruling berlubang empat. Pada lagu Kemprangan difungsikan sebagai pembawa melodi, sementara dalam Gumekan digunakan sebagai lilitan melodi.
  • Kendang : Satu buah kendang besar dan dua buah kendang kecil (kulanter). Berfungsi sebagai pengatur irama pada bentuk lagu Kemprangan.
  • Gong : Awalnya hanya menggunakan satu gong besar, namun kemudian ditambahkan kempul seperti yang digunakan di Gamelan Salendro atau Pelog. Baik Kemprangan maupun Gumekan, fungsi gong adalah panganteb wiletan.
Pola tabuhan dengan teknik Gumekan terutama pada Bonang sangatlah mewakili ekspresi melodi utama dalam instrumental degung. Sehingga ketrampilan kedua tangan pemain bonang memegang peranan penting pada orkestra degung.
Bisa dikatakan, bonang dengan teknik gumekan adalah induk yang membedakan instrumental degung dengan yang lainnya.

Repertoar Gamelan Degung
Terdapat dua jenis repertoar pada Gamelan Degung yakni :
  • Repertoar Degung Klasik : Masih mempertahankan teknik gumekan bonang sebagai ekspresi melodi dengan kalimat lagu yang umumnya panjang-panjang. Oleh karena itu sering disebut juga dengan “Lagu Ageung”.
  • Repertoar Degung Baru : Banyak dipengaruhi oleh pola tabuhan gamelan pelog/salendro (dikemprang atau dicaruk). Lagu-lagunya merupakan pirigan untuk mengiringi sekar, sehingga sering disebut “Lagu Alit”.
Struktur garapan pada repertoar Degung terdiri dari: pangkat, eusi, dan madakeun. Struktur ini sama dengan istilah overture, interlude, dan coda pada musik Barat. Pangkat adalah kalimat pembuka lagu yang dimainkan oleh waditra bonang.
Eusi adalah melodi pokok yang merupakan isi lagu itu sendiri. Madakeun adalah kalimat penutup lagu. Kalimat pangkat dan madakeun lebih pendek daripada eusi.
Melodi pangkat dan madakeun kebanyakan berakhir pada nada 5 (la) dengan pukulan goong (gong besar) yang juga biasanya bernada 5 (la) rendah.
Dalam eusi lagu-lagu pun akan banyak kita temui nada 5 (la) sebagai akhir kalimat lagu (titik), sementara nada 2 (mi) biasanya dijadikan akhir melodi pada pertengahan lagu (koma). Ini menunjukkan bahwa nada 2 (mi) dan nada 5 (la) merupakan nada yang penting dan menjadi ciri khas lain pada repertoar Degung.

Gamelan pakurmatan

                    Gamelan Pakurmatan Nama pakurmatan sendiri telah menyebut jenis karawitan ini adalah untuk menghormat sesuatu. Disebut...