Follow Us @gamelansp4

Followers

Friday, December 27, 2019

Gamelan Degung


Gamelan Degung

1.      Pengertian Istilah Degung
Istilah Degung, sejauh ini mewakili dua pengertian yakni sebagai nama dari seperangkat gamelan dan sebagai nama laras bagian dari laras salendro. Kedua pengertian tersebut tentu berbeda. Secara teori, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: (mi) 2 – (la) 5) dan degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti).
Jika dihubungkan dengan Kirata Basa, istilah degung berangkat dari kata “ngadeg” yang berarti berdiri dan “agung” berarti megah atau “pengagung” yang berarti bangsawan (menak). Jika merujuk pada teori tersebut, kesenian degung ini digunakan bagi kemegahan atau keagungan martabat kaum bangsawan.
Menurut E. Sutisna yang merupakan salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulunya hanya dimiliki pleh para pengagung atau bupati.
Adapun jika merujuk pada kamus dari H.J Oosting, literatur istilah “Degung” pertama kali muncul pada tahun 1979. Dalam kamus tersebut didapati istilah bahasa Belanda “De Gong” yang berarti “penclon-penclon yang digantung”.
Sementara itu, ada pendapat lain yang mengatakan istilah Degung berasal dari kalimat “Deg ngadeg ka nu Agung” yang dimaknai bahwa kita harus senantiasa beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti diketahui bahwa dalam bahasa Sunda banyak ditemukan kata-kata yang berakhiran “gung” yang lebih mewakili sebuah kedudukan tinggi dan terhormat misalnya Panggung, Agung, Tumenggung dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan Degung, bisa dimaknai sebagai sesuatu yang agung dan terhormat oleh masyarakat Sunda.
2.     Sejarah Gamelan Degung
Ketika dimaknai sebagai perwakilan dari seperangkat gamelan, Degung diperkirakan telah berkembang sejak kisaran akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19.
Saat ini gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda ini telah berkembang dengan pesat. Adalah Jaap Kunst yang telah mendata semua gamelan di Pulau Jawa dalam bukunya yang berjudul Toonkunst van Java (1934).
Ketika merujuk pada buku tersebut diatas, Gamelan Degung setidaknya telah tersebar di beberapa tempat di Jawa Barat. Tercatat 5 perangkat ada di Bandung dan 3 perangkat ada di Sumedang. Sementara itu, masing-masing 1 perangkat ada di Cianjur, Ciamis, Kasepuhan, Kanoman, Darmaraja, Banjar dan Singaparna.
Latar belakang masyarakat Sunda yang berupa kerajaan di hulu sungai seperti kerajaan Galuh turut memberi warna tersendiri yang mempengaruhi kesenian Degung.
Pengaruh tersebut bisa dilihat terutama pada lagu-lagunya yang banyak diwarnai oleh kondisi sungai, diantaranya lagu Manitin, Galatik Manggut, Kintel Buluk dan Sang Bango.
Disamping itu Tradisi Marak Lauk dalam masyarakat Sunda juga selalu diiringi dengan Gamelan Renteng yang kemudian berkembang ke Gamelan Degung.
Gamelan Degung yang usianya cukup tua, selain ada di keraton Kasepuhan juga ada di Sumedang yakni Gamelan Degung Pangasih yang ada di Museum Prabu Geusan Ulun. Dikatakan bahwa gamelan tersebut adalah peninggalan bupati Sumedang 1791-1828 yakni Pangeran Kusumadinata atau Pangeran Kornel.
3.      Perkembangan Gamelan Degung
Dalam perkembangannya, Gamelan Degung juga mengalami beberapa perubahan termasuk cara penyajiannya. Pada masa bupati Cianjur yakni RT. Wiranatakusumah (1912-1920), Degung lebih disajikan secara gendingan saja tanpa nyanyian karena hanya akan membuat suasana menjadi rucah (kurang serius).
Pada tahun 1920, bupati Cianjur tersebut pindah menjadi bupati Bandung. Membawa serta perangkat gamelan dan nayaganya dan sejak saat itulah Gamelan Degung bernama Pamagersari tersebut menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Adalah Anang Thayib, saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang yang sangat menyukai keindahan alunan degung. Dia adalah sahabat sang bupati yang mengajukan permohonan untuk diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya dan diijinkan.
Sejak saat itu degung digunakan dalam perhelatan umum. Oleh karena banyaknya permintaan, bupati pun memerintahkan membuat Gamelan Degung yang baru dengan nama Purbasasaka yang dipimpin oleh Oyo.
Pada awalnya, waditra Gamelan Degung hanya terdiri dari koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah.
Selanjutnya penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi.
Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan.
Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung.
Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat.
Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya.
Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa.
Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog.
Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo)
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab.
Kelengkapan tersebut untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan Degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan.
Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb.
Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi.
Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.
Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah.
Ada juga degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas.
Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri.
Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986).
Lagu Kalangkang tersebut lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) di mana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita.
Perkembangan Gamelan Degung tidak hanya di Indonesia saja, namun juga di luar negeri. Di luar Indonesia, degung dikembangkan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi. Diantaranya adalah Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US).
Selain itu, ada juga Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada).
Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang sering kali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-festival.

No comments:

Post a Comment

Gamelan pakurmatan

                    Gamelan Pakurmatan Nama pakurmatan sendiri telah menyebut jenis karawitan ini adalah untuk menghormat sesuatu. Disebut...