Gamelan Degung
1.
Pengertian
Istilah Degung
Istilah
Degung, sejauh ini mewakili dua pengertian yakni sebagai nama dari seperangkat
gamelan dan sebagai nama laras bagian dari laras salendro. Kedua pengertian
tersebut tentu berbeda. Secara teori, laras degung terdiri dari degung dwiswara
(tumbuk: (mi) 2 – (la) 5) dan degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti).
Jika
dihubungkan dengan Kirata Basa, istilah degung berangkat dari kata “ngadeg”
yang berarti berdiri dan “agung” berarti megah atau “pengagung” yang berarti
bangsawan (menak). Jika merujuk pada teori tersebut, kesenian degung ini
digunakan bagi kemegahan atau keagungan martabat kaum bangsawan.
Menurut
E. Sutisna yang merupakan salah seorang nayaga Degung Parahyangan,
menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulunya hanya dimiliki pleh
para pengagung atau bupati.
Adapun
jika merujuk pada kamus dari H.J Oosting, literatur istilah “Degung” pertama
kali muncul pada tahun 1979. Dalam kamus tersebut didapati istilah bahasa
Belanda “De Gong” yang berarti “penclon-penclon yang digantung”.
Sementara
itu, ada pendapat lain yang mengatakan istilah Degung berasal dari kalimat “Deg
ngadeg ka nu Agung” yang dimaknai bahwa kita harus senantiasa beribadah kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Seperti
diketahui bahwa dalam bahasa Sunda banyak ditemukan kata-kata yang berakhiran
“gung” yang lebih mewakili sebuah kedudukan tinggi dan terhormat misalnya
Panggung, Agung, Tumenggung dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan Degung, bisa
dimaknai sebagai sesuatu yang agung dan terhormat oleh masyarakat Sunda.
2.
Sejarah
Gamelan Degung
Ketika
dimaknai sebagai perwakilan dari seperangkat gamelan, Degung diperkirakan telah
berkembang sejak kisaran akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19.
Saat
ini gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda ini telah
berkembang dengan pesat. Adalah Jaap Kunst yang telah mendata semua gamelan di
Pulau Jawa dalam bukunya yang berjudul Toonkunst van Java (1934).
Ketika
merujuk pada buku tersebut diatas, Gamelan Degung setidaknya telah tersebar di
beberapa tempat di Jawa Barat. Tercatat 5 perangkat ada di Bandung dan 3
perangkat ada di Sumedang. Sementara itu, masing-masing 1 perangkat ada di
Cianjur, Ciamis, Kasepuhan, Kanoman, Darmaraja, Banjar dan Singaparna.
Latar belakang masyarakat Sunda yang berupa
kerajaan di hulu sungai seperti kerajaan Galuh turut memberi warna tersendiri
yang mempengaruhi kesenian Degung.
Pengaruh tersebut bisa dilihat terutama pada
lagu-lagunya yang banyak diwarnai oleh kondisi sungai, diantaranya lagu
Manitin, Galatik Manggut, Kintel Buluk dan Sang Bango.
Disamping itu Tradisi Marak Lauk dalam masyarakat
Sunda juga selalu diiringi dengan Gamelan Renteng yang kemudian berkembang ke
Gamelan Degung.
Gamelan Degung yang usianya cukup tua, selain ada
di keraton Kasepuhan juga ada di Sumedang yakni Gamelan Degung Pangasih yang
ada di Museum Prabu Geusan Ulun. Dikatakan bahwa gamelan tersebut adalah
peninggalan bupati Sumedang 1791-1828 yakni Pangeran Kusumadinata atau Pangeran
Kornel.
3.
Perkembangan
Gamelan Degung
Dalam
perkembangannya, Gamelan Degung juga mengalami beberapa perubahan termasuk cara
penyajiannya. Pada masa bupati Cianjur yakni RT. Wiranatakusumah (1912-1920),
Degung lebih disajikan secara gendingan saja tanpa nyanyian karena hanya akan
membuat suasana menjadi rucah (kurang serius).
Pada
tahun 1920, bupati Cianjur tersebut pindah menjadi bupati Bandung. Membawa
serta perangkat gamelan dan nayaganya dan sejak saat itulah Gamelan Degung
bernama Pamagersari tersebut menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Adalah Anang Thayib, saudagar Pasar Baru Bandung
keturunan Palembang yang sangat menyukai keindahan alunan degung. Dia adalah
sahabat sang bupati yang mengajukan permohonan untuk diijinkan menggunakan
degung dalam hajatannya dan diijinkan.
Sejak saat itu degung digunakan dalam perhelatan
umum. Oleh karena banyaknya permintaan, bupati pun memerintahkan membuat
Gamelan Degung yang baru dengan nama Purbasasaka yang dipimpin oleh Oyo.
Pada awalnya, waditra Gamelan Degung hanya
terdiri dari koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah,
degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah.
Selanjutnya penambahan-penambahan waditra terjadi
sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan
suling oleh bapak Idi.
Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama
kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal
Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java
Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending
karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan.
Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film
cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan
G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung.
Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai
musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris
Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung
tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak
mengakibatkan penderitaan masyarakat.
Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun
1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu
yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu
degung sebelumnya.
Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di
RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956
Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan
degung lagu palwa.
Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar
tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan
membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan
oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E.
Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu
alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog.
Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh
yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan
Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya
Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu
Oyo)
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra
angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya
Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan
waditra gambang, saron, dan rebab.
Kelengkapan tersebut untuk mendukung gending
karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan Degung ini
dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang
Pakuan.
Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta
(Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat
didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap
tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi
Tuwung, Kembang Kapas, dsb.
Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras
degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk
ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu,
surupannya lebih tinggi.
Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R.
Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending
karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.
Tahun 1970—1980-an semakin banyak yang menggarap
degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi
Pramanik pimpinan Euis Komariah.
Ada juga degung Gapura pimpinan Kustyara, dan
degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak
tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas.
Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup
Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S.
membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri.
Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam
dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita
(1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan
Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986).
Lagu Kalangkang tersebut lebih populer lagi
setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang
Cengos sekitar tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) di mana
para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog
(pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan
berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun
wanita.
Perkembangan Gamelan Degung tidak hanya di
Indonesia saja, namun juga di luar negeri. Di luar Indonesia, degung
dikembangkan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi. Diantaranya adalah
Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi
Lou Harrison (US).
Selain itu, ada juga Rachel Swindell bersama
mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John
Sidal (Kanada).
Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan
degung milik University of Melbourne yang sering kali digunakan oleh sebuah
komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di
festival-festival.
No comments:
Post a Comment