Gamelan keraton yogyakarta
Dwi shafa amalia
December 30, 2019
0 Comments
Mengenal Gamelan Keraton Yogyakarta
Keraton
Yogyakarta memiliki berbagai benda pusaka, salah satunya berupa alat musik
gamelan. Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa, yang memiliki
tangga nada pentatonis dalam sistem tangga nada slendro dan pelog.
Masyarakat Jawa menyebut gamelan sebagai gangsa yang merupakan jarwa
dhosok (akronim) dari tiga sedasa (tiga dan sepuluh). Tiga sedasa
merujuk pada elemen pembuat gamelan berupa perpaduan tiga bagian tembaga dan
sepuluh bagian timah. Perpaduan tersebut menghasilkan perunggu, yang dianggap
sebagai bahan baku terbaik untuk membuat gamelan.
Instrumen
yang dimainkan dalam seperangkat gamelan antara lain kendang, bonang,
panerus, gender, dan gambang. Selain itu ada suling, siter,
clempung, slenthem, demung, dan saron. Juga tidak
ketinggalan gong, kenong, kethuk, japan, kempyang,
kempul, dan peking.
Keraton
Yogyakarta memiliki sekitar 21 perangkat gamelan yang dikelompokkan menjadi
dua, yakni Gangsa Pakurmatan dan Gangsa Ageng.
Gangsa Pakurmatan
Gangsa Pakurmatan dimainkan untuk mengiringi Hajad Dalem
atau upacara adat keraton. Gangsa Pakurmatan terdiri dari Kanjeng
Kiai Guntur Laut, Kanjeng Kiai Kebo Ganggang, Kanjeng Kiai Guntur
Madu, Kanjeng Kiai Nagawilaga, dan Gangsa Carabalen.
Kanjeng Kiai
Guntur Laut atau disebut juga Gangsa
Monggang hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang penting seperti Jumenengan
(upacara penobatan) Sultan, menyambut tamu yang sangat terhormat di keraton,
pernikahan kerajaan, dan Garebeg.
Kanjeng Kiai
Kebo Ganggang atau disebut pula Gamelan
Kodhok Ngorek biasa dimainkan bersama Kanjeng Kiai Guntur Laut.
Seperti pada Jumenengan Sultan dan Garebeg.
Kanjeng Kiai
Sekati yang terdiri dari dua perangkat
yakni Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga. Gamelan
Sekati khusus dimainkan pada perayaan Sekaten.
Gangsa
Carabalen pada masa lalu berfungsi antara
lain untuk menyambut kedatangan tamu keraton, mengiringi latihan baris-berbaris
prajurit putri, dan Garebeg.
Gangsa Ageng
Berbeda
dengan Gangsa Pakurmatan, Gangsa Ageng dimainkan sebagai
pengiring pergelaran seni budaya keraton. Selain itu, Gangsa Ageng
memiliki instrumen lebih lengkap dibanding Gangsa Pakurmatan. Gangsa
Ageng yang dimiliki Keraton Yogyakarta antara lain;
Kanjeng Kiai
Surak, merupakan gamelan yang dibawa
oleh Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) saat masih berperang
melawan VOC. Saat itu, gamelan ini dimainkan untuk menggugah semangat juang
para prajurit. Saat kesultanan telah berdiri, gamelan berlaras slendro
ini dimainkan untuk mengiringi Ngabekten dan adu banteng melawan macan.
Kanjeng Kiai
Kancil Belik, dibawa dari Kasunanan Surakarta
setelah perjanjian Giyanti. Gamelan yang berlaras pelog ini ditabuh
untuk mengiring kedatangan Sultan pada upacara Ngabekten, mengiringi Krama
Dalem (pernikahan Sultan), dan Supitan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati
Anom (Putra Mahkota).
Kanjeng Kiai
Guntur Sari, merupakan peninggalan Sri
Sultan Hamengku Buwono I. Gamelan berlaras pelog ini digunakan untuk
mengiringi tari Beksan Trunajaya, Hajad Dalem Supitan dan Tetesan,
dan Prajurit Langenastra saat Garebeg Mulud. Karena larasnya
hampir sama dengan Gangsa Sekati, gamelan ini juga digunakan untuk
latihan acara Sekaten.
Kanjeng Kiai
Marikangen merupakan peninggalan Sri Sultan
Hamengku Buwono III. Pada masa lalu gamelan berlaras slendro ini
digunakan untuk mengiringi prajurit putri Langenkusuma menuju alun-alun
untuk berlatih perang. Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VI dan Sri Sultan
Hamengku Buwono VII digunakan untuk mengiringi tari Bedhaya, Wayang
Wong (ringgit tiyang), dan wayang kulit (ringgit wacucal).
Kanjeng Kiai
Panji dan Kanjeng Kiai Pusparana
merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono V. Kanjeng Kiai Panji
berlaras pelog dan Kanjeng Kiai Pusparana berlaras slendro.
Kanjeng Kiai
Madukintir dan Kanjeng Kiai Siratmadu,
merupakan peninggalan masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Keduanya dibuat atas
prakarsa Pangeran Purubaya, yang kemudian menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono
VIII, pada tahun 1901. Kanjeng Kiai Madukintir berlaras slendro
sedang Kanjeng Kiai Siratmadu berlaras pelog, keduanya digunakan
untuk mengiringi Wayang Wong, beksan (pertunjukan tari), dan uyon-uyon
(karawitan).
Kanjeng Kiai
Medharsih dan Kanjeng Kiai Mikatsih
merupakan peninggalan masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII, kemungkinan beliau
dapatkan ketika masih menjadi putra mahkota. Kanjeng Kiai Medharsih
memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Mikatsih memiliki
laras pelog. Keduanya digunakan untuk mengiringi beksan, uyon-uyon,
dan semacamnya.
Kanjeng Kiai
Harjanagara dan Kanjeng Kiai Harjamulya
merupakan peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Kanjeng Kiai
Harjanegara memiliki laras slendro sedang Kanjeng Kiai Harjamulya
memiliki laras pelog. Keduanya digunakan untuk mengiringi Wayang Wong
dan uyon-uyon.
Kanjeng Kiai
Madumurti dan Kanjeng Kiai Madu Kusumo
merupakan pemberian Li Jing Kim kepada Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada
tahun 1930. Li Jing Kim merupakan seorang warga Yogyakarta keturunan Cina yang
sangat mencintai budaya Jawa. Kanjeng Kiai Madumurti memiliki laras slendro
sedang Kanjeng Kiai Madukusuma memiliki laras pelog. Keduanya
digunakan untuk mengiringi Wayang Wong dan uyon-uyon.
Kanjeng Kiai
Sangumulya dan Kanjeng Kiai Sangumukti
dibuat pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tahun 1998. Kanjeng Kiai
Sangumulya berlaras pelog sedang Kanjeng Kiai Sangumukti
berlaras slendro. Keduanya digunakan untuk mengiringi beksan,
wayang kulit, wayang golek, dan uyon-uyon. Nama kedua gamelan tersebut
berasal dari pertanyaan Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada putranya yang
kemudian naik takhta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono X, manakah yang ia
inginkan, hidup mukti atau hidup mulya.
Kecuali Kanjeng
Kiai Kancil Belik dan Kanjeng Kiai Surak, penempatan Gangsa Ageng
dirotasi tiap beberapa tahun untuk memastikan semuanya diperhatikan dan dirawat
dengan baik. Sedang Kanjeng Kiai Kancil Belik selalu diletakkan di Gedhong
Gangsa Lor, dan Kanjeng Kiai Surak, karena lebih tua, diletakkan di Gedhong
Gangsa Kidul. Kedua Gedhong Gangsa tersebut berada di Plataran
Kedhaton, berhadapan dengan Bangsal Kencana.
Tiap hari
Jumat, salah satu dari gamelan ini akan dibersihkan dan diperiksa secara
bergilir oleh Abdi Dalem Kanca Gendhing. Apabila ditemukan kerusakan,
maka perbaikan segera dilakukan. Sedang gamelan yang tidak dapat diperbaiki
kembali, akan dilebur untuk kemudian dibuat menjadi baru kembali tanpa mengubah
unsur logam pembuatnya.
Hingga saat
ini, di tengah perkembangan alat-alat musik modern, gamelan tetap menjadi
bagian tak terpisahkan dari Keraton Yogyakarta. Perpaduan sempurna antara
denting lembut dan dentum megah yang dihasilkan oleh logam perunggu bermutu
prima itu selalu menjiwai setiap upacara kerajaan dan memberi warna pada setiap
pergelaran seni budaya di Keraton Yogyakarta.