Follow Us @gamelansp4

Followers

Sunday, January 12, 2020

Kesenian Tradisional Tari Sintren


Tari Tradisional Sintren
Asal mula nama sintren salah satunya berasal dari kata sindir (bahasa Indonesia : sindir) dan tetaren (bahasa Indonesia : pertanyaan melalui syair-syair yang perlu dipikirkan jawabannya) maksudnya adalah menyindir dengan menggunakan sajak-sajak atau syair-syair,
Pada awalnya sebelum terbentuk struktur sintren  yang ada seperti sekarang ini yang berupa tarian dengan wanita ditengahnya, dahulu awal kesenian ini dipercaya dimulai dengan aktifitas berkumpulnya para pemuda yang saling bercerita dan memberikan semangat satu sama lain terutama setelah kekalahan besar pada perang besar cirebon yang berakhir sekitar tahun 1818, dalam cerita lisan masyarakat Indramayu dikenal nama Seca Branti yang dipercaya sebagai abdi pangeran dionegoro yang berhasil lolos dari Belanda setelah kekalahan perang Diponegoro yang berakhir pada tahun 1830, dikatakan bahwa Seca Branti melarikan diri ke wilayah indramayu disana dia bergaul dengan para pemuda dan suka membacakan sajak-sajak perjuangan, pada musim panen tiba disaat para pemuda sedang banyak berkumpul, Seca Branti kemudian ikut bergabung dan menyanyikan sajak-sajak perjuangannya.
Aktifitas menyanyikan sajak-sajak ini kemudian diketahui oleh penjajah Belanda dan kemudian dilarang, Belanda hanya mengizinkan adanya sesuatu kegiatan yang diisi dengan pesta, wanita penghibur dan minuman keras. Kegiatan-kegiatan ini juga berusaha Belanda lakukan di dalam keraton-keraton Cirebon sebelum berakhirnya perang besar Cirebon, bahkan para prajurit Belanda yang berada di kota Cirebon senang dengan kegiatan mabuk-mabukan diiringi dengan para penari Tayub. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi digunakannya penari wanita sebagai kedok (bahasa Indonesia : topeng) dalam pertunjukannya sementara fokus utamanya tetaplah syair-syair yang diucapkan oleh dalang sintren yang didengarkan oleh para pemuda yang mengelilinginya, berlatih untuk memupuk rasa perjuangan. Oleh karenanya pada tahap ini sebagian kalangan menterjemahkan sintren sebagai sinyo (bahasa Indonesia : pemuda) dan trennen (bahasa Indonesia : berlatih) yang artinya pemuda yang sedang berlatih.
Pada tahap ini pola-pola sajak yang digunakan oleh para dalang sintren tidak berubah dari sajak-sajak tentang perjuangan, perbedaannya adalah digunakannya ronggeng buyung (penari wanita) pada pertunjukannya yang bertujuan untuk mengelabui penjajah Belanda.
Selain dari kisah perjuangan pemuda-pemuda Cirebon lewat syair-syair penyemangat dalam pagelaran sintren, kesenian sintren di Cirebon juga menampilkan lirik-lirik legenda romantisme antara Selasih dan Sulandana yang populer dikalangan masyarakat suku jawa, hal tersebut dikarenakan letak Cirebon yang berdekatan langsung dengan tanah budaya Jawa mengakibatkan tingginya interaksi sosial antara suku Cirebon dengan suku jawa.
Persyaratan Penari :
Untuk menjadi seorang penari sintren maka sang penari tersebut harus dalam keadaan suci dan bersih, sebelum melakukan pementasan maka sang penari harus melakukan puasa terlebih dahulu dan menjaga agar tidak berbuat dosa, hal ini ditujukan agar roh tidak akan mengalami kesulitan untuk masuk dalam tubuh penari.
Sintren Sebagai Media Dakwah :
Sintren seperti halnya kesenian Cirebon yang lainnya juga dipergunakan oleh para wali untuk menyebarkan dakwah Islam daSn mengajarkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, pada pagelaran sintren di wilayah Cirebon, penari sintren yang dalam keadaan tidak sadar dan kemudian menari, ketika dilemparkan uang dengan jumlah berapapun akan mengakibatkan penarinya jatuh dan tidak bisa berdiri sendiri sebelum didirikan oleh dalang sintren, menurut Ki Mamat yang merupakan dalang sintren dari sanggar tari Sekar Pandan, kesultanan kacirbonan, nilai-nilai dakwah Islam yang dibawa oleh pagelaran sintren adalah ;
  • Ranggap(Kurungan Ayam), bentuk kurungan ayam yang melengkung berusaha mengingatkan pada manusia yang menyaksikan bahwa bentuk melengkung itulah bentuk dari fase hidup manusia dimana manusia dari bawah akan berusaha menuju puncak, namun setelah berada dipuncaknya manusia kembali lagi ke bawah, dari tanah kembali menjadi tanah, dilahirkan dalam keadaan lemah akan kembali pada keadaan yang lemah pula.
  • Duit(Uang), uang yang dilempar membuat penari sintren langung jatuh lemas bermakna di dalam kehidupan manusia jangan selalu mendahulukan duniawi, terlalu serakah ke duniawi akan membuat manusia jatuh.

Perkembangan Sintren :
Kesenian tari sintren pada mulanya dipentaskan pada waktu yang sunyi di saat malam bulan purnama karena kesenian tari ini berhubungan dengan roh halus yang masuk ke dalam sang penari, namun kini pementasan tari sintren tidak lagi dilakukan pada malam bulan purnama melainkan dapat juga dipentaskan pada siang hari dan bertujuan untuk menghibur wisatawan serta memeriahkan acara hajatan.
Melestarikan Sintren :
Kesenian tari sintren merupakan kesenian tradisional yang harus terus dijaga dan dilestarikan agar tidak menghilang apalagi di tengah arus globalisasi yang mana saat ini telah banyak hiburan canggih yang berasal dari luar negeri dan sedikit demi sedikit akan semakin menggusur kesenian tradisional, untuk itu pemerintah dan masyarakat perlu memperhatikan kelangsungan dari tari sintren ini.
Salah satu kesenian tradisional yang dimiliki oleh Cirebon adalah tari sintren yang mana tari tradisional yang menggambarkan kesucian dari seorang wanita ini mengandung unsur magis.
Pakaian dan alat musik
Pada masa lalu diwilayah kabupaten cirebon , busana yang digunakan oleh penari sintren berupa Kebaya untuk atasannya dengan kain batik Liris dan celana Cinde (celana yang panjangnya sampai ke lutut sebagai bawahannya serta Jamang (hiasan rambut), kaos kaki dan kacamata hitam sebagai pelengkapnya, tidak hanya itu, pada masa lalu alat musik yang mengiringi pagelaran sintren merupakan jenis-jenis alat musik yang terbilang sederhana, diantaranya adalah:
·         Buyung, alat musik semacam gendang yang terbuat dari tanah liat dengan ditutup lembaran karet diatasnya. Penggunaan alat musik buyung inilah yang melatarbelakangi sebagian penari sintren pada masa lalu disebut sebagai ronggeng buyung (ronggeng yang diiringi oleh alat musik buyung)
·         Tutukan, alat musik yang terbuat dari bambu panjang dan besar yang pada masa sekarang disamakan fungsinya dengan alat musik bas.
·         Bumbung, alat musik yang terbuat dari ruas-ruas bambu yang berukuran kecil yang pada masa sekarang disamakan fungsinya dengan gitar melodi atau sejenisnya.
·         Kendi, alat musik yang terbuat dari tanah liat yang berfungsi sama dengan gong.
·         Kecrek, alat musik yang berfungsi sebagai pengatur ritme nada.
Pada perkembangannya di masa-masa kemudian, baju penari sintren kemudian berubah menjadi mengenakan baju golek yakni pakaian yang mirip dengan yang dikenakan oleh wayang golek sebagai atasannya, namun bawahannya tetap menggunakan kain batik dan celana cinde serta masih menggunakan jamang, kaos kaki dan kacamata hitam sebagai pelengkapnya, perubahan tidak hanya terjadi pada bentuk pakaiannya saja, instrumen pengiringnya juga bertambah dari yang tadinya hanya berisikan buyungtutukanbumbungkendi dan kecrek kemudian dilengkapi dengan penambahan instrumen gamelan Cirebon sebagai pelengkapnya.

No comments:

Post a Comment

Gamelan pakurmatan

                    Gamelan Pakurmatan Nama pakurmatan sendiri telah menyebut jenis karawitan ini adalah untuk menghormat sesuatu. Disebut...